Sungai Mahakam merupakan sungai
terbesar di Kalimantan Timur. Sungai yang panjangnya mencapai 920 km dengan
lebar 300-500 meter ini memliki banyak anak sungai. Menurut cerita, sebagian
anak Sungai Mahakam terbentuk akibat sebuah peristiwa yang pernah terjadi di
daerah tersebut. Peristiwa apakah itu? Berikut kisahnya dalam cerita Asal Mula
Anak Sungai Mahakam.
Dahulu, di sekitar hulu Sungai
Mahakam, terdapat sebuah pondok besar yang dihuni oleh tiga orang bersaudara.
Saudara tertua seorang gadis bernama Siluq, saudara kedua bernama Ayus, serta
yang paling bungsu bernama Ongo. Mereka memiliki tabiat dan keahlian yang
berbeda-beda, kecuali si bungsu yang masih kecil. Siluq adalah gadis yang gemar
melakukan bebelian (ritual adat) dan bedewa (memuja dewa) untuk mencari
kesaktian. Hampir setiap hari dan malam hari gadis itu bersemedi sehingga
terkadang lupa makan dan minum.
Sementara itu, Ayus adalah seorang
remaja lelaki yang ceroboh dan suka mencampuri urusan kakaknya. Ayus memiliki
badan yang besar dan kuat. Pohon besar dapat dengan mudah dicabutnya. Langkah
kakinya juga sangat panjang sehingga ia dapat berlari secepat angin. Sedangkan
si Bungsu yang masih berumur belasan tahun tidak memiliki keahlian apa-apa
kecuali makan dan tidur.
Suatu malam, Ayus dan Ongo tidak
dapat tidur karena tilam (kasur) dan bantal mereka basah. Malam itu, hujan
lebat turun semalam suntuk sehingga menyebabkan atap rumah mereka bocor, air
hujan pun menerobos masuk ke dalam pondok mereka. Siluq tidak merasakan
datangnya hujan karena sedang khusyuk bebelian dan bedewa.
Pagi harinya, Ayus dan Ongo
bermaksud ke hutan untuk mencari daun serdang untuk mengganti atap rumah mereka
yang rusak. Saat itu, Siluq tampak masih bebelian dan bedewa. Sebenarnya, Ayus
merasa kesal melihat kelakukan kakaknya yang seolah-olah tidak menghiraukan
keadaan rumah mereka.
“Kak Siluq, hari sudah siang!” seru
Ayus, “Aku dan Ongo hendak ke hutan mencari daun serdang. Setelah selesai
bebelian, kakak yang nanti memasak untuk makan siang!”
Mendengar suara adiknya, Siluq pun
terkejut dan tersadar dari semedinya. Ia merasa amat kecewa karena semedinya
belum selesai tapi sudah dibangunkan oleh adiknya.
“Baiklah, aku nanti yang memasak,”
jawab Siluq yang kemudian berpesan kepada kedua adiknya, “Sepulang dari hutan,
jangan sekali-kali kalian membuka tutup periuk. Cukup kalian tambahkan kayu
bakar jika memang apinya mulai kecil.”
“Baik, Kak,” jawab Ayus dan Ongo
serempak.
Ketika Ayus dan Ongo berangkat ke
hutan, Siluq segera mengambil beberapa lembar daun padi untuk dimasak. Setelah
dibersihkan, daun padi itu ia masukkan ke dalam periuk yang sudah diisi air.
Setelah itu, ia kembali melanjutkan semedinya dan berdoa kepada dewa agar daun
padi yang dimasak itu berubah menjadi nasi.
Menjelang siang, Ayus dan Ongo sudah
kembali dari hutan dengan membawa daun serdang. Mereka terlihat sangat lelah
dan lapar. Ayus pun langsung masuk ke dapur. Alangkah kecewanya ia saat melihat
periuk nasi masih terjerang di atas tungku.
“Kenapa pancinya masih di atas
tungku? Jangan-jangan nasinya belum matang,” gumam Ayus.
Ayus penasaran ingin mengetahui isi
panci itu. Maka, ia pun segera membuka penutup panci tersebut. Betapa
terkejutnya ia tatkala melihat panci itu yang di dalamnya hanya terdapat
beberapa lembar daun padi dan sebagian lainnya berupa nasi. Takut ketahuan oleh
kakaknya, ia cepat-cepat menutup kembali panci itu.
Sementara itu, Siluq baru saja
selesai bebelian. Ia kemudian menuju ke dapur untuk memastikan apakah nasinya
sudah tanak atau belum. Begitu ia membuka penutup panci itu, dilihatnya masih
ada beberapa lembar daun padi yang tersisa.
“Hai, bukankah seharusnya nasi ini
sudah matang semua? Tapi, kenapa masih ada beberapa lembar daun padi yang
tersisa?” gumam Siluq dengan heran, “Ini pasti perbuatan Ayus. Anak itu telah
melanggar pesanku.”
Siluq terlihat sangat marah. Karena
perilaku adiknya itu, kini kesaktiannya memasak daun padi menjadi nasi telah
hilang. Dengan kesal, ia segera menghampiri Ayus yang sedang duduk beristirahat
di samping pondok mereka.
“Hai, Ayus. Kamu telah melanggar
pesanku. Tidak ada lagi gunanya kita tinggal bersama. Lebih baik aku pergi dari
sini. Aku akan tinggal di dekat pusat air. Di sana aku dapat bebas bebelian dan
bedewa tanpa ada yang mengganggu,” kata Siluq.
Usai berkata demikian, Siluq segera
mengemas pakaiannya. Sebelum pergi, ia membawa ayam jantan sakti kesayangannya.
Siluq kemudian menyusuri sungai menuju hilir dengan menggunakan rakit. Sebelum
berangkat, ia berpesan kepada adik-adiknya.
“Aku harus pergi sekarang. Jagalah
diri kalian baik-baik,” ujar Siluq.
Ayus terdiam. Ia merasa amat
menyesal atas perilakunya sendiri yang menyebabkan kakaknya pergi. Ketika
melihat rakit yang ditumpangi Siluq melaju di atas aliran sungai yang deras,
cepat-cepatlah ia berlari hendak menghalangi kakaknya. Dengan kecepatan lari
yang luar biasa, ia dapat mendahului kakaknya jauh di depan. Ayus kemudian
mengambil batu-batu besar dan melemparkannya ke tengah Sungai Mahakam sehingga
terbentuklah bendungan. Rakit yang ditumpangi Siluq pun mulai melambat. Ketika
Siluq tiba di dekat bendungan itu, ia memberintahkan jantan saktinya berkokok.
“Berkoteklah, ayamku!” seru Siluq.
Ayam jantan itu pun berkokok. Suara
kokok ayam sakti itu pun seketika menghancurkan bendungan yang dibuat Ayus.
Suliq dengan rakitnya pun kembali melaju menuju ke hilir. Ayus tidak mau kalah,
ia berlari kencang mendahului kakaknya dan membuat bendungan lagi. Ketika ayam
jantan milik kakaknya berkokok, bendungan itu kembali hancur berkeping-keping.
Demikian hal tersebut terjadi berulang-ulang sehingga Siluq dengan rakitnya
tetap mampu menghilir karena kesaktian suara kokok ayamnya. Menurut cerita,
bekas-bekas bendungan tersebut kini menjadi keham atau jeram di hulu Sungai
Mahakam.
Sementara itu, rakit yang tumpangi
Siluq terus melaju hingga akhirnya tiba di muara Sungai Mahakam. Ayus tidak
mampu lagi membuat bendungan karena tidak ada lagi batu-batu besar di daerah
itu. Dengan kekuatannya, ia menambak kuala sungai dengan mengambil lumpurnya
dan mencabut nipah-nipah yang tumbuh di pinggir sungai. Nipah-nipah tersebut
kemudian ditanam pada tambak buatannya sehingga terbentuklah hutan nipah.
Setelah itu, Ayus menunggu rakit Siluq melewati tempat itu.
Tak berapa Ayus menunggu, dari
kejauhan tampaklah rakit Siluq sedang melaju ke hilir. Ketika rakit itu hendak
melewati hutan nipah buatan Ayus, ayam jantan Siluq berkokok. Tak ayal, hutan
nipah itu pun hancur sehingga terbentuklah aliran-aliran sungai yang kini
bernama Kuala Bayur, Kuala Berau, dan sejumlah delta di Kuala Mahakam.
Sebelum melanjutkan perjalanan
menuju ke laut lepas, Siluq berpesan kepada Ayus.
“Ayus, tolong jangan lagi kau
halang-halangi jalanku. Biarkanlah aku mendekatkan diri kepada Sang Hyang
Dewata di pusat air,” pinta Siluq, “Aku akan bebelian dan bedewa untuk
menenteramkan jiwa. Dari sana, aku akan menjaga kamu dan Ongo.”
sangat menarik mengenai sungai mahakam
BalasHapus